Kopi Gayo Aceh: Cita Rasa Kopi Nusantara yang Mendunia
Di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah (1.200–1.600 mdpl), kopi arabika Gayo tumbuh di bawah naungan pinus dan alpukat, menghasilkan biji hijau keemasan dengan aroma nutty, citrus, dan dark chocolate. Dinobatkan kopi termahal dunia oleh Specialty Coffee Association (2023, US$120/kg), Gayo adalah mutiara hijau Aceh: 100% organik, fair trade, dan tahan 400 tahun sejak diperkenalkan Belanda 1880-an.
Proses adalah ritual leluhur. Biji ceri merah dipetik tangan satu per satu (hanya grade A, 18–20 mm), difermentasi basah (wet-hulled) khas Gayo: kulit buah dilepas 12 jam, biji dikeringkan di paralon bambu hingga kelembapan 12%. Roasting ringan-sedang (city+) mempertahankan acidity cerah dan body tebal. Espresso Gayo punya crema 3 mm—standar barista Italia. 1 kg biji hijau butuh 7 kg ceri segar, 40 hari dari pohon ke cangkir.
Varian Gayo mencerminkan terroir. Gayo Winey (fermentasi 48 jam) punya note blackcurrant. Gayo Peaberry (biji tunggal, 5% hasil) lebih intens. Gayo Luwak—biji dimakan musang—capai Rp15 juta/kg. Koperasi Baitul Qiradh di Takengon ekspor 2.000 ton/tahun ke AS, Jepang, Eropa.
Kopi Gayo adalah identitas Aceh. “Kopi Gayo, kopi halal”—petani zakat 2,5% hasil panen. Warung Kopi Solong di Ulee Kareng (berdiri 1970) sajikan kopi saring tubruk dengan roti jala. Festival Kopi Gayo tiap Oktober undang 80.000 pengunjung; lomba cupping jadi ajang pelestarian citarasa.
Modernitas merangkul tradisi. Kopi Gayo kaleng laris di Starbucks Reserve; cold brew Gayo tren di kafe Jakarta. Kampung Kopi Blang Gee latih 500 petani milenial/tahun; drone pantau hama. Zero waste: kulit ceri jadi pupuk kompos, ampas jadi scrub kopi.
Kopi Gayo adalah puisi di cangkir: asam sitrus menari, cokelat meleleh, aftertaste bersih. Di lereng Gunung Geureudong, ia berkata: “Minumlah pelan—setiap teguk adalah 1.600 mdpl, 40 hari, dan doa Gayo yang tak pernah pudar.”